YOGYAKARTA/MEDIASOROTMATA.COM – Semakin berkembangnya ilmu biologi, saat ini banyak ilmuan menciptakan hal -hal unik hasil percobaan kawin silang antara hewan- hewan tertentu. Salah satunya adalah spesies baru yaitu “Liger”. Liger merupakan hasil kawin silang antara singa dan harimau. Liger memiliki genus yang sama dengan kedua induknya tetapi merupakan spesies yang berbeda. Liger memiliki beberapa karakteristik fisik singa dan harimau. Bahkan perilaku liger merupakan kombinasi dari perilaku singa dan harimau. Sehingga Liger memiliki karakteristik yang unik.
Saat ini banyak sekali dihebohkan dengan fenomena-fenomena menarik yang ada di lingkungan, sehingga banyak sekali ditemukanya berbagai jenis hayati atau makhluk hidup dengan adanya perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan bentuk, ukuran, warna, jumlah tekstur, penampilan dan juga sifat-sifatnya.
Keanekaragaman hayati yang muncul dengan berbagai rupa dari hasil perkawinan, fenomena belakang menyoroti adanya kemunculan spesies unik bernama “Liger. Liger merupakan keturunan hibrida dari singa jantan (Panthera leo) dan harimau betina (Panthera tigris). Liger memiliki induk dalam genus yang sama tetapi dari spesies yang berbeda. Jika seekor singa jantan dikawinkan dengan seekor liger, maka akan menghasilkan liliger yang lebih dominan seperti singa.
Sedangkan jika seekor harimau jantan dikawinkan dengan seekor liger, maka akan menghasilkan tiliger yang lebih dominan seperti harimau. Dalam sejarah, ketika Singa Asia mengalami musim offsping, wilayah dari singa dan harimau saling tumpang tindih. Liger biasanya tumbuh lebih besar karena dihasilkan dari perkawinan antara harimau yang Jantan membuat tubuhnya lebih besar, sedangkan tigon memiliki tubuh yang lebih kecil karena hasil perkawinan dari harimau betina (Nationalgeographic.co.id).
Paul Leyhausen dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Zeitschrift für Tierpsychologie yang berjudul Beobachtungen an Löwen-Tiger-Bastarden mit einigen Bemerkungen zur Systematik der Großkatzen, publikasi tahun (1950), menuliskan tentang catatan sejarah hibridisasi liger.
Sejarah hibridisasi yang berupa “Sejarah hibrida antara singa dengan harimau, diperkirakan telah dimulai pada awal abad ke-19 di India”. Orang-orang India diperkirakan telah melakukan perkawinan silang terhadap singa dan harimau yang kemudian dibuktikan oleh catatan-catatan orang eropa.
Dengan adanya Hibridisasi inilah sehingga membuka peluang kekacauan genetika yang lebih besar. Ini artinya, ada kemungkinan terjadinya kemandulan atau kecacatan yang lebih besar terhadap hewan-hewan hasil hibridisasi,” kata Luke Hunter, kepala Organisasi Konservasi Kucing Liar, Panthera.
Liger tidak akan ditemukan di alam liar. Sebab, singa dan harimau tidak hidup tumpang tindih, kecuali di hutan Gir India kendati di sana pun tidak pernah ditemukan liger. Ini tak lain karena kucing besar yang hidup di wilayah yang sama tidak akan melewati batas spesies.
Menurut artikel kumparanSains tahun (2020), yang mengartikan bahwa harimau dan singa tidak tertarik satu sama lain, seperti halnya manusia dengan simpanse. Sebaliknya, liger adalah keturunan kucing besar yang dikawinkan di penangkaran, dan mereka ditakdirkan untuk menjadi objek penelitian di kebun binatang dan taman margasatwa. Menjadikan tampak menakjubkan, namun para pendukung konservasi kucing besar mengatakan bahwa hibridisasi memiliki sisi gelap.
Pada tahun 1798, menurut tienne Geoffroy Saint-Hilaire (1772-1844) membuat pelat warna dari keturunan singa dan harimau, Portmanteau “liger” diciptakan pada tahun 1930-an. Pada tahun 1825, G.B. Whittaker membuat ukiran anak liger yang lahir pada tahun 1824. “Induk dan ketiga anak liger juga digambarkan bersama pelatih mereka dalam lukisan abad ke-19 dengan naïve style tambahnya.
Dua anak liger yang lahir pada tahun 1837, kemudian dipamerkan kepada Raja William IV. Perkembangannya, pada tahun 1935, empat liger dari dua liger dipelihara di Kebun Binatang Bloemfontein, Afrika Selatan. “Tiga dari mereka, satu merupakan jantan dan dua betina, masih hidup hingga tahun 1953. Jantan memiliki berat 340 kg (750 lb) dengan tinggi yang melebihi singa jantan dewasa terang Leyhausen.
Liger diyakini sebagai spesies kucing terbesar yang pernah diketahui di dunia. “Liger jantan dapat mencapai panjang hingga 3,6 meter. (9,8 hingga 11,8 kaki) yang berarti mereka menyaingi singa dan harimau jantan yang besar sekalipun,” tulis Markus Bühler.
Bühler menulisnya dalam Kryptozoologie dengan judul Liger artikel yang dimuat dalam Bestiarium die größten Raubkatzen der Welt, yang dipublikasi pada (2007) silam. la menerangkan tentang liger sebagai spesies raksasa karena pertumbuhannya yang cepat dan berpotensi memiliki ukuran tubuh yang sangat besar. Karakteristik liger akan lebih unik dibandingkan dengan induknya.
“la memiliki warna dasar yang lebih mirip dengan singa, dan memiliki sedikit garis yang terkadang dapat menyatu menjadi bintik-bintik,” tulisnya.
“Umumnya, berat Liger kira-kira dapat mencapai dua kali berat singa, yaitu sekitar 400 sampai 600kg untuk ukuran jantan besar’ tambahnya. Kemunculannya juga menjadi tanda tanya bagi sejumlah ahli.
Lantas bagaimana dampak dari proses hibridisasi hewan-hewan dalam ekosistem bumi? “Proses hibridisasi dapat membantu spesies induk dengan mentransfer gen baru, melalui introgresi (persilangan spesies), dan bahkan dapat mengarah pada penciptaan spesies baru,” tulis Lila M. Colston-Nepali dan Deborah M. Leigh.
Menurut artikel National Geographic Indonesia tahun (2021). Mereka berupaya mengungkap tentang proses hibridisasi hewan-hewan dan dampknya dalam tulisannya. Tulisannya dimuat dalam Biodiversity Journal berjudul Ligers and Tigons and Grolars, Oh My!
Hybridization, and How It Affects Biodiversity, publikasi tahun (2019). Di sisi lain, selain dapat menurunkan genus induk ke dalam genus yang baru. Sehingga terdapat juga dampak buruk yang mungkin akan sangatberpengaruh pada lingkungan ekosistem hewan, utamanya bagi spesies induk.
“Jika kebanyakan hibrida berhasil (dilakukan), mungkin akan ada begitu banyak hibrida sehingga mereka bersaing dengan spesies induknya untuk (mendapatkan) makanan dan ruang hidup, yang dapat menyebabkan kepunahan spesies induk,” pungkas mereka.
( Felisitas Irena Prasetyaningsih
Pendidikan Biologi, USD )