Minggu, 26 Jan 2025
News

Penjara Cermin Hukum Negara. Pakar Hukum Solehuddin: Undang-Undangnya Dan Sistemnya Harus Diganti

SURABAYA/MediaSorotMata.Com – Tidak ada Hukum tanpa campur tangan Kekuasaan, namun jika Kekuasaan tanpa Hukum akan liar tak terkendali, begitu salah satu kata yang dilontarkan Dr. Sugeng Purnomo Kepala Deputi Menkopolhukam saat menjadi Keynote Speaker Diskusi Publik Media Panjinasional dengan tema “Penjara Bukan Negara, Tapi Cerminan Hukum Negara”, Kamis 21September 2024.

Diskusi Publik diselenggarakan di Aula Kampus Universitas Merdeka Surabaya (UNMERBAYA) Kerjasama dengan Div-Pas Pemasyarakatan Kemenkumham Jatim dengan menghadirkan para Pembicara, Dr. H. Solehuddin, SH,.MH
Pakar Hukum Pidana Ubhara Surabaya. Dr. Bastianto Nugroho S.H.M.Hum Dekan Fakultas Hukum Unmerbaya. Dr. Dwi Prasetyo, M.PSDM, Pakar Sosial Komunikasi Stikosa-AWS.

Terakhir Pembicara sebagai perwakilan Kemenkumham RI, Dr. Tri Agung Arianto, Amd. IP, SH, M. Hum. M.Kn. Kasubid Pembinaan, TI dan Kerjasama Divisi Pemasyarakatan. Sedangkan Moderator Diskusi adalah Antonius Andhika Pimpinan www.mediamerahputih.id
Gatot Irawan Pemred Media Panjinasional dalam sambutan pembukaan menyampaikan secara garis besarnya tentang tema yang dipaparkan dalam Diskusi “Penjara Bukan Negara”, bahwa kata dan sebutan Penjara merupakan Stigma Negatif yang bisa menJustice Hak seseorang ketika menjalani pidana, baik sebagai terpidana hingga bebas.

Menurut Gatot, Pemilihan tema ini berdasarkan fakta dalam proses peradilan di Indonesia, bahwa Penjara telah menjadi stigma yang cukup menakutkan masyarakat luas, walaupun sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan. “Istilah Penjara masih menjadi kata baku bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam isi tuntutannya terhadap terpidana, juga para Hakim saat ketok Palu Putusan Pidana,” kata Gatot.

Oleh karena itu, Gatot menginisiasi diskusi publik dengan mengundang sejumlah pakar hukum dan pakar komunikasi
Dr. Sugeng Purnomo juga menyampaikan bahwa hingga saat ini masih terjadi over capacity Lapas-Lapas di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan tempat Penjara sekarang berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas/Rutan), namanya bukan lagi Penjara.

Gatot berharap sinyal adanya pembahasan konkret dari para Pembicara guna menjadikan Referensi untuk mengubah stigma positif agar kata *Penjara* dapat berubah dengan *Lapas* karena mereka (Terpidana) yang keluar Lapas sudah mendapat pembinaan dengan istilah Warga Binaan Pemasyarakatan, maka jika sudah lepas harusnya mereka tidak memiliki trade label bekas orang penjara,” urai gatot.

Sementara itu, dalam kapasitas sebagai ahli komunikasi, Dwi Prasetyo berpendapat bahwa stigma penjara dapat diubah dengan cara merubah persepsi masyarakat terhadap penjara dan narapidana.

Masyarakat perlu dididik tentang tujuan penjara yang sebenarnya, yaitu untuk merehabilitasi narapidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.

Dan sistem peradilan pidana yang adil dan tidak diskriminatif akan membantu mengurangi jumlah orang yang masuk penjara, dan akan meningkatkan peluang narapidana untuk berhasil menjalani rehabilitasi. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam program-program ini dengan menjadi relawan, mentor, atau pemberi kerja.

“Perubahan stigma penjara membutuhkan upaya yang berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga permasyarakatan, organisasi non-profit, dan masyarakat,” imbuh Wakil Ketua 1 Stikosa-AWS tersebut.

Pendapat yang lebih tegas dikemukakan oleh Dr Solehuddin, yang juga menjadi Ketua Presidium Perkumpulan Dosen seluruh Indonesia. Menurut Solehuddin, selama Undang-Undangnya belum diubah, maka Stigma Penjara akan terus melekat di masyarakat. “Walaupun istilah penjara sudah dirubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas, namun sistem Penjara masih nampak karasteristik penjara, masih ada jeruji-jeruji besi”.

“Maka Undang-Undangnya dan Sistemnya Harus diganti, misalnya kata-kata Hakim memutuskan bahwa Terdakwa dinyatakan terbukti dan bersalah secara sah maka Hakim memutuskan hukuman pidana sekian tahun di Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan, tidak lagi menyebut Penjara” tegas dosen Ubhara ini.

Menurut pengamatan Solehuddin, masih banyak pelanggaran hukum yang terjadi di dalam Lapas, antara lain praktek negosisasi dan pungutan liar, pemerasan, kekerasan dan perlakuan tidak senonoh yang sebenarnya tidak perlu terjadi di dalam Lapas. Bahkan seolah-olah Lapas diumpamakan terdapat negara sendiri, yang memisahkan pelaku tindak pidana dengan masyarakat.

Oleh karena itu Solehuddin berharap Pemerintah mencari solusi agar dapat menekan jumlah tindak pidana yang terjadi, namun tidak dengan memenjarakan seseorang. Harus ada upaya-upaya selain menjatuhkan pidana penjara, mengingat semakin banyak narapidana maka semakin berat beban APBN karena setiap narapidana harus diberi makan, fasilitas penjagaan, perawatan dan lain lain,” tegas Solehuddin. (Gis)



Baca Juga