Ditaksir Rugikan Negara Hingga Puluhan Miliar, Tambang Dan Crusher Diduga Ilegal di Dalam Proyek Bandara Kediri

, 11 Februari 2022 1 KALI DILIHAT

KEDIRI, MediaSorotMata.com – Menyoroti Pembangunan Bandara Internasional Dhoho di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, di duga masih terus berlangsung. Proyek ini dibangun dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), dengan target bisa beroperasi pada tahun 2023 mendatang.

Ground breaking bandara ini sudah dimulai sejak pertengahan April 2020 lalu. Investasi yang digelontorkan di kisaran Rp 6 triliun sampai dengan Rp 9 triliun untuk biaya pembebasan lahan hingga konstruksi bandara.

Namun dalam pelaksanaannya, proyek ini mendapat kecaman karena adanya pertambangan dan usaha pemecah batu atau stone crusher yang ada di dalam kompleks proyek Bandara Dhoho Kediri, yang diduga kuat ilegal atau tanpa dilengkapi izin tambang ataupun izin industri. Adapun pelaku penambangan dan pemilik usaha pemecah batu di duga ialah PT Mitra Gunung Makmur, beralamat di Dusun Grogol, Desa Grogol Rt 001/002, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri.

Menurut Sekretaris Jenderal Ormas Komunitas Rakyat Anti Korupsi (KORAK), Sueb, bahwa keberadaan bisnis tambang dan pengolahan batu di dalam kompleks proyek Bandara Dhoho diperkirakan berjalan telah lama. Namun hingga kini, diduga belum melengkapi perizinan yang ditentukan.

Minimnya pengawasan serta tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah setempat dan aparat penegak hukum membuat usaha tersebut berjalan lancer. Bahkan, dari hitung-hitungan Ormas KORAK, terdapat kerugian negara yang cukup signifikan pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang terus berlangsung di dalam kompleks proyek Bandara Dhoho.

“Kerugian negara tersebut terkait pertambangan dan produksi pemecahan batu maupun kerikil (Pemurnian) diduga beraktivitas secara ilegal atau tak mengantongi izin usaha di kompleks proyek Bandara Dhoha.

Jika ada tindakan tegas dari Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum, maka akan jadi contoh baik bagi pengusaha-pengusaha tambang lainnya agar mengurus izin sebelum melakukan kegiatan produksi pertambangan,” ujar Sueb.

Sueb mengestimasi, jika PT Mitra Gunung Makmur mendapat order dari Bandara Dhoho kurang lebih 500 ribu kubik (M3) dengan harga Rp 140.000 per kubik, dan pajak yang harus dibayar Rp 15 ribu per kubik. Maka Rp 15 ribu dikalikan 500 ribu kubik, total pajak yang harus dibayar ke negara Rp 7,5 miliar.

“Itu masih PPn, belum termasuk pajak penghasilan (PPh). Jika ditotal, bisa puluhan miliar rupiah. Semua itu tidak ada pemasukan ke negara karena tambang dan usaha industri pengolahan batu PT Mitra Gunung Makmur diduga tidak punya izin,” jelas Sueb, sambil menyebut material itu dipasok ke proyek Bandara Dhoho Kediri, yang dibangun oleh Surya Dhoho Investasma (SDHI).

Sueb heran, sebab mega proyek nasional di Kediri tersebut memberi contoh tidak baik karena menggunakan material dari tambang diduga illegal.

Apalagi, dugaan pelanggaran hukum tersebut dijalankan secara rapi dengan dibangun pagar tinggi di sekitarnya sehingga orang sulit untuk masuk.

“Harusnya pihak pemberi kerja dalam hal ini Surya Dhoho Investasma tahu konsekuensi jika proyeknya menggunakan material dari tambang diduga illegal.

Meski material di ambil dari lahan sendiri, tetap harus melengkapi izin sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU industri, karena disitu ada pengolahan material, bukan sekadar cut and fill,” tegas Sueb.

Sueb mendesak agar instansi terkait, baik itu instansi Pemerintah ataupun aparat penegak hukum untuk meninjau lokasi pertambangan dan pengolahan batu tersebut. Jika tetap beroperasi, maka harus melakukan tindakan tegas berupa penghentian seluruh aktivitas dan memproses hukum pelakunya.

Akibat yang ditimbulkan dari pertambangan dan pengolahan batu diduga illegal tersebut, ialah pengusaha tambang di sekitarnya.

“Mereka bersusah payah dan mengeluarkan banyak biaya untuk urus izin tapi tidak bisa bekerja karena ada proyek Bandara Dhoho yang gunakan tambang diduga illegal,” ujar Sueb.

Dengan yakin Sueb menegaskan, bahwa PT. Mitra Gunung Makmur diduga kuat tidak memiliki Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), dokumen lingkungan garus UKL/UPL, izin usaha pertambangan (IUP) Produksi, izin usaha industri (IUI), dan perlengkapan izin lainnya.

“Hasil produksi berupa penjualan batu tak berizin industri masuk kategori ilegal. Disamping itu, setiap hasil produksinya yang tidak memiliki izin usaha industri itu, hasilnya tidak dapat dijual. PT Mitra Gunung Makmur telah menyalahi aturan yang berlaku, tapi bisa seenaknya beroperasi. Mengingat ini negara hukum, segala sesuatu yang sudah berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dipatuhi, termasuk urus izin tambang dan izin industri untuk usaha mereka di dalam kompleks proyek Bandara Dhoho,” tegas Sueb.

“Jika perusahaan tidak memiliki izin usaha tambang dan izin industri tapi tetap beroperasi, negara yang dirugikan. Kerugian negara itu diketahui dari kapasitas atau produksi dan berapa kewajiban kepada pajak daerah. (*^*)

Related posts

Komentar